Hidup ini adalah sebuah keajaiban. Bagaimana tidak, betapa
Allah telah menciptakan dan menyempurnakan penciptaan kehidupan itu sendiri.
Segala proses yang terjadi di kehidupan ini adalah sebuah karunia yang jika
kita telaah secara seksama, kita akan mendapati betapa rapi, indah, elegan,
dramatis, menakjubkan, dan sempurnanya proses tersebut. Mahasuci dan Mahatinggi
Ia.
Aku teringat kembali kata-kata yang begitu membekas dari
kuliah kalkulus pak Salman saat TPB dulu..
Suatu pagi yang cerah di ruang 9232..
"Untuk apa kita belajar turunan?" tanya Beliau.
Sekelas yang berisi 200 lebih mahasiswa tidak ada yang
menjawab, entah tidak tahu jawabannya, atau hanya sungkan dan tidak mau
terlihat menonjol.
"Konsep turunan berkaitan dengan perubahan,"
lanjut Beliau.
"Karena semua hal di dunia ini akan berubah, kecuali
Tuhan dan kalimat barusan."
Sungguh kata-kata itu langsung menancap kuat di memoriku.
Sungguh benar apa yang pak Salman katakan. Memang benar semua berubah ke arah
masing-masing dengan segala ke-kompleks-an-nya.
Aku masih ingat dulu ada seorang bocah. Bocah yang sangat
apatis dan pemalas. Ia tidak peduli dengan apa yang terjadi di dunia ini,
bahkan tidak peduli dengan sekitarnya, tetangganya, bahkan dirinya sendiri.
Hari demi hari dilewatinya tanpa ada hal yang begitu berarti baginya, yang
penting dirinya senang, apa yang ia mau terpenuhi, dan tidak ada yang mau
mengganggunya.
Hingga suatu saat bocah tadi bertanya-tanya tentang segala
hal; tentang penciptaan, tentang dirinya sendiri, tentang alam semesta, tentang
sebab-akibat, dan tentang hakikat hidupnya. UNTUK APA SEBENARNYA HIDUP INI?
Ya, kau benar. Bocah itu tidak lain adalah aku sendiri.
Butuh proses bertahun-tahun untukku mencari makna hidup ini,
bahkan sampai sekarang pun proses itu masih berlanjut. Aku tidak tau sampai
kapan. Ribuan halaman dari buku-buku filsafat yang aku dapati di rak buku
bapakku telah habis aku baca. Perdebatan berjam-jam bersama guru dan
teman-teman telah aku jalani. Perenungan dan pertanyaan kepada diri sendiri
menjadi hobiku setiap ada waktu. Aku pun berdoa kepada Tuhan agar Dia membimbingku.
Dan sampai pada batas tertentu, Tuhan menjawab doaku.
Aku yang sejak kecil hanya menerima agama dari orangtuaku,
menganggap bahwa agama hanyalah rutinitas belaka, hampa, tanpa makna. Tetapi
apa yang aku dapat dari hasil pencarianku, sungguh luar biasa!
Aku menemukan apa yang aku cari di dalam agamaku, agama
satu-satunya yang diridhoi di sisiNya, ISLAM.
Momen itu adalah di saat aku sedang melakukan pencarian
pencerahan di kaki gunung Lawu, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku
merasakan betapa nikmatnya sholat tahajud. Air mata berderai begitu saja di
pelupuk mata. Sungguh sejuk dan menentramkan. Pada malam itu tidak ada orang
yang paling bahagia di seluruh Tawangmangu, kecuali aku.
Aku mulai tau, bahwa aku (dan juga kita semua) diciptakan
bukanlah untuk perkara main-main saja. Semua yang ada di kolong langit ini
diciptakan hanya untuk berbakti kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Dan dari sana aku mulai belajar bahwa konsekuensi dari
ber-Islam adalah mengajak orang kepada kebaikan, yakni Islam itu sendiri. Dan
konsekuensi dari usaha mengajak orang lain kepada kebaikan adalah dengan
berkumpul bersama orang-orang yang menyeru kepada kebaikan. Dan konsekuensi
dari berkumpul bersama orang-orang yang menyeru kepada kebaikan adalah
ketaatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar