Waktu itu aku masih duduk
di kelas XG. Aku baru bersekolah di SMA selama kira-kira 3 bulan. Jadi
solidaritas dengan teman masih belum terlalu solid. Kakak kelasku saat itu
mengadakan turnamen sepakbola yang bernama AMAZON CUP. Pesertanya adalah
tiap-tiap kelas di sekolahku.
Sore itu adalah saat
technical meeting. Aku terkejut ketika mendapati bahwa kelasku, XG, berada di
grup yang isinya kelas XII semua kecuali kelasku. Saat itu dengan begitu
bersemangat aku katakan pada teman-temanku yang laki-laki, "Sante wae cah,
ora popo lawane cah2 kelas 12! Ojo nyerah sek, yen awakedhewe tenanan mesthi isoh menang!"
Hingga datang hari
pertandingan pertama kami. Kalau aku tidak salah ingat, lawannya adalah XII IPA
5. Aku katakan pada teman-temanku, "Ojo lali mengko tanding lho cah!
Thokno kabeh opo isohmu!"
Karena pertandingan dimulai
sekitar pukul 15 lebih sementara aku pulang sekolah pukul 14 kurang maka aku
putuskan pulang dulu.
Setelah persiapan selesai,
aku siap berangkat lagi. Tapi ternyata saat itu ada hujan deras disertai angin
kencang serta petir yang menyambar-nyambar. Tapi hambatan yang terbesar
sebenarnya adalah suara nyaring dari Ibuku yang memekakkan telinga, berusaha
melarangku pergi bertanding.
Tapi itu bukan halangan
bagiku. Aku, yang saat itu masih berjiwa muda, tidak akan gentar menghadapi
rintangan apapun. Meski dunia kiamat pun pasti aku akan tetap pergi ke stadion
itu untuk menyelesaikan urusanku.
Sepeda motorku kupacu,
meski guntur menggelegar, angin berhembus kencang, deras air hujan yang menusuk
tubuhku kuanggap seperti pijat terapi saja.
Hingga aku sampai di depan
stadion, saat itu baru ada satu temanku di sana. Padahal menurut jadwal,
pertandingan harus segera dimulai.
Kakak panitia sudah memberi
kode agar tim kami segera bersiap. Tapi kami masih kurang orang. Baru lima.
Padahal untuk bertanding harus ada sekurang-kurangnya 7.
Dalam hati aku berkata,
"Kalaupun aku harus bertanding seorang diri melawan 11 orang, aku tidak
akan takut!"
Aku kemudian membujuk
temanku, Faisal. Tadinya Faisal ingin tidak ikut bertanding karena nanti ia
akan dimarahi orangtuanya. Tapi aku membujuk dan setengah memaksanya,
"Sal, ayo gek melu. Ojo jirih sal. Koe ki lanang po wadon. Yen ra gelem
melu wes koe ganti sayakan wae!"
Akhirnya dengan berat hati
Faisal mau ikut bertanding. Tapi kami masih kekurangan 1 orang.
Aku berusaha menghubungi
temanku melalui handphone. "Ayo gek nyango stadion, iki garek kurang siji
engkas". Tapi ternyata semua usahaku tidak berhasil. Tidak ada lagi
temanku yang mau ikut bertanding. Karena kebanyakan temanku adalah aktivis di
organisasi, mereka lebih memberatkan pada organisasi daripada bertanding
bersama-sama teman sekelas.
Akhirnya tim kami dianggap
kalah 3-0 karena tidak cukup orang. Aku sangat kecewa saat itu. Teman-temanku
bertindak seperti pengecut. Aku merasa malu berteman dengan mereka yang saat
itu tidak ikut datang ke stadion. Apa susahnya datang bermain, padahal hanya
pasang badan. Kalah atau menang itu urusan belakangan, yang penting adalah
sikap ksatria untuk berani masuk ke arena menghadapi apa yang seharusnya
dihadapi. Bukannya lari dari pertarungan. Kami sudah kalah bahkan sebelum
bertanding. Ini benar-benar tidak sesuai dengan jalan Bushido yang saat itu
kuanut. Untung saat itu aku masih belum terlalu menjiwainya, kalau aku
benar-benar menjiwainya, mungkin aku sudah melakukan harakiri.
Lalu aku mohon maaf pada
Faisal karena telah berkata kasar padanya. Karena meskipun agak takut, Faisal
sudah bertindak layaknya seorang ksatria sejati yang tidak lari dari musuh.
Sepulang dari stadion aku
mandi, lalu online di Facebook. Aku membuat status di sana, "wahai para
penghuni XG, dimanakah kehormatan kalian?" Ternyata tidak ada yang berani
berkomentar.
Besuknya aku marah-marah di
kelas. "Piye he cah wingi kae? Kok podo jirih temen ki piye? Mbok ngono
kui yo teko, tanding, menang opo kalah kui urusan keri!"
Mereka lalu meminta maaf.
Dengan agak kesal, aku memaklumi mereka. "okelah sing nggekingi wes men,
nanging sesuk meneh ojo dibaleni lho!"
Tibalah hari saat
pertandingan kedua kami. Saat itu jadwal pertandingannya sepulang sekolah lalu
istirahat sebentar kemudian langsung bertanding. Jadi jumlah kami awalnya 10
atau 11 orang. Saat itu lawannya kalau aku tidak salah ingat adalah XII IPA 6.
Awalnya kami bisa
mengimbangi permainan lawan. Kami bahkan bisa menembus pertahanan lawan sampai
hampir membuat gol. Tapi ternyata tendangan melenceng. Aku yang melihat dari
tengah lapangan juga ikut merasa kecewa. Pertandingan berlanjut.
Sampai datang beberapa
teman kelas lain memanggil beberapa temanku yang sedang bertanding. Mereka
harus mengikuti latihan dari organisasi mereka. Satu persatu temanku pergi.
Hingga akhirnya kami tinggal 7 orang. Ini benar-benar pertandingan yang sulit.
Lama-kelamaan kami
kehabisan tenaga. Stamina kami tidak terlalu baik. Apalagi kami yang hanya
tujuh orang harus mengimbangi mereka yang 11 orang. Ditambah lagi tubuh kami
lebih kecil. Sudah kalah jumlah, kalah badan, kalah stamina, juga kalah skill.
Ini benar-benar pertandingan yang sulit dan memayahkan.
Pertandingan akhirnya
berakhir dengan kemenangan lawan telak 4-0. Aku kecewa lagi. Ternyata hasilnya
justru lebih mengenaskan daripada tidak bertanding sama sekali. Tapi tidak
masalah. Kali ini yang penting kami sudah bertanding. Setidaknya kami bisa
kalah dengan cukup terhormat. Kukatakan pada teman-temanku "Rapopo cah,
dino iki mainmu wes apik. Aku njuk ngapuro mainku ora apik banget." Walau
kucoba menyemangati mereka, ternyata wajah mereka tetap saja tertunduk lesu.
Mungkin mereka mengalami depresi yang mendalam.
Akhirnya hari pertandingan
ketiga kami tiba. Meskipun hari ini kami menang 1000-0 pun kami tidak akan
lolos ke babak berikutnya. Muncul isu-isu untuk tidak usah bertanding saja.
Tapi aku dengan tegas membantahnya. Apakah mereka akan mengulangi perbuatan
mereka, semenatar mereka sudah berjanji untuk tidak melakukannya. Tentu itu
takkan kubiarkan terjadi.
Jadi, hari itu kami
bertanding dengan jiwa yang begitu bebas. Kami bertanding tanpa beban. Saat itu
terkumpul kalau tidak salah 9 orang. Melawan kelas kalau tidak salah ingat XII
IPS 1 yang lagi-lagi berpostur besar-besar, dan 11 orang penuh.
Saat itu terik matahari
begitu menyangat, kami sangat kelelahan setelah seharian mendengarkan pelajaran
bapak-ibu guru. Aku melihat musuh, tampak mereka seperti pasukan yang begitu
kuat, berbaris dengan rapi, menunggangi kuda perang yang gagah, dan membawa
persenjataan lengkap. Sedangkan kami, kami seperti segerombolan pasukan
infantri sukarela, tanpa baju besi, tanpa pedang hanya sabit dan alat-alat
dapur, yang sudah menempuh perjalanan jauh tanpa mendapati mata air sehingga
kami hampir mati kehausan. Yah, kira-kira seperti itulah keadaan saat itu.
Meskipun demikian, kami
tetap bersemangat, kami tidak menyerah, kami teriakkan sekeras-kerasnya,
"MERDEKA!!"
Lalu, apakah Anda tau apa
yang terjadi? Apa Anda berpikir bahwa kami bisa melakukan keajaiban seperti
yang terjadi pada babak final antara Liverpool dengan AC Milan yang saat itu di
akhir babap pertama Ac Milan sudah menang 3-0, kemudian pelatih Liverpool mengatakan
pada pemainnya di waktu istirahat "bermainlah sesuka kalian!" dan
akhirnya Liverpool bisa menyeimbangkan kedudukan 3-3, lalu mereka justru menang
di babak penalty??
Tidak, dan Ya!
Tidak, kami tidak menang.
Kami kalah 5-0. Seperti yang sudah aku ramalkan bahwa hasil dari pertandingan
ini akan mengikuti rumus Phytagoras yakni r kuadrat sama dengan x kuadrat
ditambah y kuadrat. Kami sudah kalah 3-0 dan 4-0. 3 kuadrat ditambah 4 kuadrat
adalag 25 yang akar kuadratnya adalah 5. Dan ramalanku benar.
Ya, kami memang melakukan
suatu keajaiban. Bagiku, kami bisa bertanding itu sudah suatu keajaiban. Kelas
kami, XG, adalah kelasnya orang-orang yang penuh kreativitas, mereka adalah
orang-orang yang super sibuk. Mereka memiliki tumpukan tugas yang begitu tingginya,
sehingga meluangkan waktu untuk bermain adalah suatu yang sangat jarang
terjadi. Aku sangat bersyukur bisa bermain bersama teman-temanku. Ambisiku
untuk menang di awal-awal turnamen mungkin terlalu muluk-muluk. Sebelumnya aku
adalah tipe orang yang perfeksionis yang ingin segala sesuatu berjalan
sempurna. Tapi berhadapan dengan situasi selam turnamen ini, kalian telah
berhasil membuka mataku bahwa keberhasilan (kemenangan) bukanlah satu-satunya
hal yang terpenting. Aku kira kebersamaan, keseimbangan, keharmonisan, dan
persahabatan itu jauh lebih penting.
Aku minta maaf karena telah
berkata kasar pada kalian teman. Terimakasih kalian telah memberikan yang
terbaik dari kalian. Aku sangat menghargai itu.