Minggu, 12 Juni 2011

Kebenaran

Kemarin pulang sekolah saya main catur dengan teman saya, Asqi. Hasilnya nggantung. Asqi tdk mau melanjutkan pertarungan. Jadi pulangnya saya ingin main lagi.
Sorenya bapak saya pulang. Jadi saya menantangnya main catur. Karena lama tdk main, ia menerima.

Sebelum mulai, kami membuat peraturan:
1. Tdk boleh undo.
2. Kalau pegang harus jalan.
3. Yg menang adalah yg berhasil menang 10 kali.
Dan pertandingan dimulai!

Babak pertama, saya kalah. Saya mendapat ejekan bemacam-macam, tapi tenang, baru satu kali. Begitu juga dengan babak kedua, ketiga, dan keempat.

Babak kelima, sy membuat bnyk kesalahan yg membuat pasukan saya banyak yg hilang. Namun bapak saya membuat satu kesalahan yg fatal, dan saya menang. Ini kemenangan saya yg pertama. Score 4-1 masih menang bapak.

Pertandingan berikutnya saya menang. Kemudian menang lagi, lagi dan lagi. Hingga saya menang 9 kali berturut-turut! Bapak saya semakin hilang konsentrasi. Hahaha!

Hingga pertandingan yg akan menentukan kemenangan bulat bagi saya. Kami bersiap, dan babak ke-14 dimulai!
Pada awal pertandingan, saya membuat kesalahan hingga kuda saya hilang dengan gratis. Tapi dengan segala taktik saya, akhirnya saya bisa membalikkan keadaan dan menang! Saya berhasil menang 10 kali!

Dan konflik pun dimulai! Bapak saya tdk mau menerima kekalahannya. Ia mulai mengada-ada. Katanya kalau saya ingin menang, saya harus menang 4 kali lagi. Karena saya menang 10 kali dan kalah 4 kali. Berarti saya baru menang 6 kali. Saya harus membuat kemenangan 4 kali lagi tanpa kalah, atau dengan kalah, tetapi nanti ditutup lagi dengan kemenangan!

Saya langsung menyangkal pendapatnya: tidak bisa seperti itu! Tadi aturannya menang 10 kali dan saya sudah mendapatkannya. Kalaupun saya kalah 9 kali tapi akhirnya bisa menang 10 kali, itu sudah menang! Namun bapak saya tetap ngotot! Katanya kekalahan saya yang 4 kali itu harus ditutup dulu.
Akhirnya kami pun adu tafsir!
Saya mengatakan bahwa menang-kalah ini tdk bisa ditambah-kurangkan.
Bapak saya ngotot, 10 itu maksudnya agregat seperti di permainan sepakbola.
Saya berdalih: oh, tetap tidak bisa! Kalau begitu berarti kau hanya seorang berjiwa 'pedagang'! Kau melakukan dosa, kemudian kau shalat, shalatmu itu utk menutupi dosamu, sehingga impas dan kau tidak kena azab. Jelas tidak seperti itu! Dosa tetap dihitung dosa, kelak kita tentu akan mendapat hukumannya. Dan pahala tetap pahala, kebaikan kita tetap tidak akan hilang meski melakukan dosa! Dalam surat al-Zalzalah ayat 7 dan 8 pun demikian.
"barangsiapa berbuat kebaikan sebesar zarrah pun, ia akan mendapat balasannya. Dan barangsiapa berbuat keburukan sebesar zarrah pun, ia akan mendapat balasannya."
Bapak saya masih tidak mau kalah. Katanya ini berlaku hukum III Newton, aksi=reaksi berarti 10 itu aksi 4 itu reaksi. Berarti masih 6 agar bisa dapat 10 aksi.
Bapak saya yg notabene orang pertanian tdk memahami hal ini. Yg seperti itu, harusnya dimensinya sama, misalnya gaya [MLT^-2] nanti ya harus dibalas gaya. Lha ini, menang dan kalah itu dimensinya sudah tidak berhubungan sama sekali!
Namun bapak saya masih tetap ngotot.

Akhirnya saya teringat cerita Mahatma Gandhi sebelum beliau pergi ke Inggris. Sewaktu akan meninggalkan India, ibunya tdk mengizinkan. Karena Mahatma adalah pemeluk Hindu aliran yg tdk boleh memakan daging. Ibunya khawatir di Inggris akan sulit menemukan sayuran, karena di sana hampir semua makanan mengandung daging. Akhirnya Mahatma bersumpah pada ibunya bahwa ia tdk akan memakan daging. Lalu Ibunya mengizinkan.

Sampai di Inggris, Mahatma kesulitan mendapat sayuran. Yg ada hanya daging, susu, lalu telur. Suatu saat Mahatma bertemu dengan seorang vegetarian. Vegetarian itu berpendapat dan percaya bahwa telur bukanlah daging, jadi Mahatma boleh memakan telur, dan tidak melanggar sumpahnya.
Namun Mahatma meniti ke dalam dirinya sendiri. Sewaktu ia bersumpah kepada ibunya, yg ada di pikirannya adalah bahwa daging itu juga mencakup telur. Walaupun akhirnya telur itu bukan daging, dan secara bahasa persumpahan, ia tidak melanggar sumpahnya jika memakan telur. Mahatma berpikir bahwa saat bersumpah, telur juga masuk daging, jadi ia tetap tidak mengkonsumsi telur. Saya salut padanya. Ia jujur pada diri sendiri. Ia adalah orang yg dekat pada kebenaran.

Saya kembalikan ke konflik tadi. Saat membuat aturan di awal tadi, yg terbayang di pikiran adalah menang 10 kali dan tidak peduli kalah berapa kali. Saya yakin bapak saya pasti juga berpikir seperti itu. Namun, dalam perjalanan ia kalah dan akhirnya mengada-ada. Ketika bapaksaya saya tanyai: pasti tadi yg ada di pikiranmu seperti itu kan? Hayo, ngaku!
Bapak saya pun terdiam dan mengaku.
"wah, menang-menangan tafsir iki" katanya. Hahaha!

Demikianlah, di saat kondisi buruk, terkadang kita tidak berani jujur pada diri sendiri dan membuang kebenaran lalu mencari pembenaran. Itu yg sedang nge-trend saat ini di Indonesia. Ya, kita hanya mencari pembenaran, bukan kebenaran.
Namun tidak peduli bagaimana dalih anda, manipulasi anda, intrik anda, dan alibi anda, kebenaran tetap kebenaran. Ia sejati, ia kekal, karena kebenaran bersumber dari hati nurani dan hanya hati nurani yg bisa berhubungan langsung dengan Tuhan!

Kejujuran memang terkadang menyakitkan, namun ketidakjujuran adalah lebih mencelakakan lagi!

2 komentar: