Jumat, 15 Juni 2012

Bagaimana Mungkin...


Seorang pengembara muda ditangkap karena membunuh seorang lelaki tua. Anak lelaki korban membawa pemuda ini ke hadapan Khalifah Umar. Sang pengembara mengakui perbuatannya. Sebenarnya ada keadaan khusus yang meringankan, namun dia menolak untuk memohonkan itu; dia telah mengambil sebuah nyawa dan karenanya harus mengorbankan dirinya sendiri. Namun dia mengajukan satu permintaan: bisakah eksekusi ditunda selama tiga hari agar dia dapat pulang ke rumah dan membereskan sedikit urusan? Ada seorang anak yatim di pengasuhannya di sana, dia telah mengubur warisan anak ini di tempat yang tak diketahui oleh seorang pun, dan jika dia tidak menggalinya sebelum dia meninggal, anak itu tidak akan memiliki uang sepeser pun. Sungguh tidak adil jika anak itu menderita karena kejahatan walinya. “Jika Anda membiarkan saya pergi hari ini,” si pembunuh berkata, “Saya berjanji akan kembali tiga hari dari sekarang dan menyerahkan diri untuk eksekusi.”
Khalifah berkata, “Ya, baiklah. Tapi hanya jika Anda menyebut nama seseorang untuk bertindak sebagai wakil Anda; seseorang yang akan setuju untuk menanggung hukuman jika Anda tidak datang kembali.”
Nah, hal itu membingungkan sang musafir muda. Dia tidak punya teman atau kerabat di bagian wilayah ini. Orang asing mana yang akan cukup percaya kepadanya untuk menanggung risiko eksekusi menggantikannya?
Pada saat itu, Abu Dzar, salah satu sahabat Nabi, menyatakan bahwa dirinya akan menjadi wakil pemuda itu. Dan dengan demikian si pembunuh itu pergi.
Tiga hari kemudian dia tidak kembali. Tidak ada yang terkejut, tapi mereka tidak menangisi Abu Dzar yang malang, yang dengan setia meletakkan kepalanya di atas balok kayu talenan. Algojo sedang meminyaki kapaknya dan bersiap-siap untuk memotong ketika pemuda itu datang berderap di atas kuda berdebu, penuh dengan keringat. “Saya mohon maaf, mohon maaf, saya terlambat,” katanya, “tapi di sinilah saya sekarang. Mari kita lanjutkan dengan eksekusi.”
Para penonton tercengang. “Anda bebas; Anda telah benar-benar lolos. Tak seorang pun bisa menemukan Anda dan membawa Anda kembali. Kenapa Anda kembali?”
“Karena saya berkata saya akan kembali, dan saya seorang muslim,” jawab pemuda itu. “Bagaimana mungkin saya memberi dunia alasan untuk mengatakan bahwa kaum muslim tidak lagi dapat memenuhi janji-janji mereka?”
Hadirin berpalingh kepada Abu Dzar. “Apakah engkau mengenal anak muda ini? Apakah engkau tahu tentang karakter mulianya? Apakah karena itu engkau setuju menjadi wakilnya?”
“Tidak,” kata Abu Dzar, “Saya tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya dalam hidup saya, tapi bagaimana mungkin saya menjadi orang yang membiarkan dunia mengatakan kaum muslin tidak lagi berbelas kasih?”
Kerabat korban pembunuhan itu sekarang berlutut. “Jangan bunuh dia,” mereka memohon. “Bagaimana mungkin kita menjadi orang yang membuat dunia berkata tidak ada pengampunan dalam Islam?”
(sumber: Ansary, Tamim. Dari Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam.2012. Jakarta: Zaman)