Seorang pengembara muda ditangkap karena membunuh seorang
lelaki tua. Anak lelaki korban membawa pemuda ini ke hadapan Khalifah Umar.
Sang pengembara mengakui perbuatannya. Sebenarnya ada keadaan khusus yang meringankan,
namun dia menolak untuk memohonkan itu; dia telah mengambil sebuah nyawa dan
karenanya harus mengorbankan dirinya sendiri. Namun dia mengajukan satu
permintaan: bisakah eksekusi ditunda selama tiga hari agar dia dapat pulang ke
rumah dan membereskan sedikit urusan? Ada seorang anak yatim di pengasuhannya
di sana, dia telah mengubur warisan anak ini di tempat yang tak diketahui oleh
seorang pun, dan jika dia tidak menggalinya sebelum dia meninggal, anak itu
tidak akan memiliki uang sepeser pun. Sungguh tidak adil jika anak itu
menderita karena kejahatan walinya. “Jika Anda membiarkan saya pergi hari ini,”
si pembunuh berkata, “Saya berjanji akan kembali tiga hari dari sekarang dan
menyerahkan diri untuk eksekusi.”
Khalifah berkata, “Ya, baiklah. Tapi hanya jika Anda menyebut
nama seseorang untuk bertindak sebagai wakil Anda; seseorang yang akan setuju
untuk menanggung hukuman jika Anda tidak datang kembali.”
Nah, hal itu membingungkan sang musafir muda. Dia tidak punya
teman atau kerabat di bagian wilayah ini. Orang asing mana yang akan cukup
percaya kepadanya untuk menanggung risiko eksekusi menggantikannya?
Pada saat itu, Abu Dzar, salah satu sahabat Nabi, menyatakan
bahwa dirinya akan menjadi wakil pemuda itu. Dan dengan demikian si pembunuh
itu pergi.
Tiga hari kemudian dia tidak kembali. Tidak ada yang
terkejut, tapi mereka tidak menangisi Abu Dzar yang malang, yang dengan setia
meletakkan kepalanya di atas balok kayu talenan. Algojo sedang meminyaki
kapaknya dan bersiap-siap untuk memotong ketika pemuda itu datang berderap di
atas kuda berdebu, penuh dengan keringat. “Saya mohon maaf, mohon maaf, saya
terlambat,” katanya, “tapi di sinilah saya sekarang. Mari kita lanjutkan dengan
eksekusi.”
Para penonton tercengang. “Anda bebas; Anda telah benar-benar
lolos. Tak seorang pun bisa menemukan Anda dan membawa Anda kembali. Kenapa
Anda kembali?”
“Karena saya berkata saya akan kembali, dan saya seorang
muslim,” jawab pemuda itu. “Bagaimana mungkin saya memberi dunia alasan untuk
mengatakan bahwa kaum muslim tidak lagi dapat memenuhi janji-janji mereka?”
Hadirin berpalingh kepada Abu Dzar. “Apakah engkau mengenal
anak muda ini? Apakah engkau tahu tentang karakter mulianya? Apakah karena itu
engkau setuju menjadi wakilnya?”
“Tidak,” kata Abu Dzar, “Saya tidak pernah bertemu dengannya
sebelumnya dalam hidup saya, tapi bagaimana mungkin saya menjadi orang yang
membiarkan dunia mengatakan kaum muslin tidak lagi berbelas kasih?”
Kerabat korban pembunuhan itu sekarang berlutut. “Jangan
bunuh dia,” mereka memohon. “Bagaimana mungkin kita menjadi orang yang membuat
dunia berkata tidak ada pengampunan dalam Islam?”
(sumber: Ansary, Tamim. Dari Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam.2012. Jakarta: Zaman)