Jumat, 07 Oktober 2016

The Best Game of All Time

Terkadang aku berfikir.. di saat aku main game, aku berfantasi seolah menjadi aktor di dalam game tersebut, bekerja keras untuk mengalahkan musuh-musuh yang muncul atau untuk menjalankan suatu misi tertentu.

Aku sudah berpengalaman dengan banyak game dan bermain di berbagai level. Memang maksud dan tujuan dari bermain game adalah untuk mendapatkan kesenangan. Dan dari sekian banyak game, aku menyimpulkan bahwa game akan menjadi membosankan jika terlalu mudah untuk menang/menyelesaikan misi. Namun game juga menjadi tidak seru apabila musuh terlalu kuat atau misi terlalu rumit sehingga menjadi impossible untuk dilakukan. Game akan terasa sangat menyenangkan jika game tersebut bisa diselesaikan tapi harus membuatku mengeluarkan seluruh kemampuanku. Akan lebih dramatis lagi jika aku sampai babak belur menghadapi musuh, tapi di akhir aku bisa menang dengan sisa nyawa yang tinggal sedikit, mungkin sekali kena pukul lagi sudah mati.
Demi mencari game yang seperti inilah dulu aku sing pergi ke penjual kaset game. Namun pada akhirnya aku bosan juga dan baru setelahnya aku menyadari bahwa banyak waktu, uang, dan tenaga yang terbuang untuk game. Dan setelah itu, tidak ada manfaat berarti yang aku dapat di kehidupan nyata.
Tunggu apa lagi? Waktu terus berjalan. Bonus stage biasanya tidak akan lama. Manfaatkan selagi bisa, semampu kita.


Lalu aku mendapati di dalam kitab bahwa kehidupan di dunia ini tidaklah melainkan permainan (game) saja. Dan uniknya di dalam game kehidupan ini kita seringkali menghadapi kondisi yang kelihatannya sangat sulit untuk diselesaikan, tapi selalu bisa diselesaikan, asal mau berusaha. Jadi ternyata segala hantaman masalah yang datang tarafnya setara dengan kemampuan kita. Atau kalau ternyata tarafnya lebih tinggi, kita akan diberi hint secara implisit agar menaikkan kemampuan sehingga pada akhirnya bisa menyelesaikan masalah, walaupun seringkali nyaris gagal. Jadi aku menyimpulkan sekarang aku tidak perlu lagi membeli console untuk main game karena kehidupan inilah game terbaik yang bisa kumainkan.

Tapi aku juga mendapati satu lagi kesimpulan. Yakni dari sekian banyak game yang kumainkan, ada dua kategori. Yang pertama adalah game yang tidak memberi manfaat di kehidupan nyata setelah selesai. Dan yang kedua ada game yang mampu memberikan manfaat positif dalam kehidupan nyata. Misal: kemampuan bahasa inggris, optimasi, pengetahuan sejarah, geografi-demografi, simulasi, dll.
Nah di dalam game kehidupan ini pun kita bisa memilih, apakah kita mau asal main game saja, asal mendapat kesenangan dan larut dalam kehidupan dunia yang menipu. Atau kita bisa memainkan game kehidupan ini, tapi yang akan bermanfaat setelah kita terbangun dari game kehidupan ini.
Adapun yang pertama, bisa dilakukan dengan cara apa saja, mau jungkir balik atau gimana terserah asal enjoy, itu terserah pada pribadi masing-masing dan kemungkinannya banyak sekali.
Sedangkan yang kedua, kita harus memainkan game ini sesuai dengan hint dari Sang Developer Pembuat game kehidupan ini. Koridornya ya intiny bagaimana kita hidup ini menyempurnakan iman dan menyiapkan bekal amal sholih sebaik mungkin.
Jadi tunggu apa lagi, kerahkan semua kemampuan kita untuk misi iman dan amal sholih ini. Apalagi saat ini dunia ini sudah mendekati titik penghabisan nya. Sebagaimana biasanya di dalam game-game kalau di tahap akhir itu score nya dikali lipatkan berkali-kali, begitu juga dengan game kehidupan ini. Umat akhir zaman ini umurnya pendek-pendek, amalannya sedikit, ibadahnya serba cacat, tapi pahalanya paling banyak. Ini adalah bonus stage yang diberikan oleh Sang Developer kepada umat ini dan tidak diberikan pada umat-umat sebelumnya. Lalu bagaimana cara memaksimalkan score kita di bonus stage ini? Caranya yaitu dengan mengajak sebanyak mungkin player lain dalam game ini untuk menyadari hal ini, agar mereka juga ikut mengumpulkan score iman dan amal sebaik mungkin, sekaligus mereka juga mengajak player-player yang lain. Jika kita bisa mengajak satu saja player lain, maka itu adalah keberuntungan yang sangat besar.
"Barangsiapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka dia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." (Shahih Muslim)

Cerita Liburan Akhir Semester 5


Dulu ketika aku masih duduk di bangku sekolah, biasanya di hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang guru Bahasa Indonesia akan memberi tugas kepada kami, "Anak-anak, coba ceritakan liburan kalian kemarin di kertas HVS nanti dikumpulkan yaa."

Aku paling senang kalau ada tugas seperti ini. Apalagi kalau aku dapat kesempatan untuk menceritakannya di depan kelas. Tapi sekarang di kuliah tidak ada lagi guruku yang memberi tugas seperti itu (ya kali..besok aku harus menghadapi Anstrik, Baja, Rekpon, Dinstruk, dkk). Namun hasrat menulis cerita ini masih tetap ada, jadi aku tuliskan di sini saja. Barangkali ada sedikit hikmah yang bisa diambil untuk teman-temanku dan sekalian pembaca yang budiman.
Oke kita mulai ceritanya!

Jadi liburanku belum benar-benar dimulai meskipun setelah semua UAS berakhir, tapi aku baru “potong pita” untuk pembukaan liburanku secara resmi setelah aku mengumpulkan tubes Beton yang aku kerjakan sampai harus bermalam di kamar temanku (yang di asrama Salman, mepet kampus) berjam-jam di depan laptop dan juga mengumpulkan jawaban dari soal take home Irigasi. Aku bersyukur telah melewati semester ini lalu mengerjakan sholat 2 rakaat di Salman lalu mengamalkan sunnah tidur siang.

Beberapa hari kemudian aku berkemas dan memulai perjalanan dari Bandung ke Jakarta dengan menggunakan bus yang aku naiki dari terminal Leuwi Panjang bersama kawan-kawanku. Di sepanjang perjalanan kawanku terlelap tapi aku tidak memejamkan kedua mataku kecuali beberapa saat saja karena aku begitu excited melihat jalan tol yang dilalui oleh bus kami. Aku makin hari makin bersyukur karena sudah memilih jurusan yang memiliki andil sangat besar terhadap peradaban umat manusia ini (yap, teknik sipil/civil engineering). Betapa tidak, berkat kecerdikan akal para insinyur sipil maka bisa terwujud lah jalan tol yang sangat keren ini. Jika situasi normal, perjalanan Bandung-Jakarta bisa ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam saja. Padahal sebelum ada tol ini, perjalanan Bandung-Jakarta bisa memakan waktu berkali lipat. Alhamdulillah di hari itu traffic dari Bandung ke Jakarta lancar, sedangkan dari Jakarta ke Bandung macet parah karena besoknya ada hari Natal bagi kaum Nasrani. Aku kagum melihat bagaimana jalan yang begitu panjang ini dibentangkan. Juga terkadang di kanan kiri jalan ada proyek pembangunan yang menggunakan alat-alat berat, di antaranya alat investigasi tanah seperti yang aku baca di buku kuliah, dan banyak lagi alat-alat yang aku belum membacanya di buku. Aku juga kagum bagaimana rekayasawan jalan tol membuat gerbang tol yang jumlahnya banyak (mungkin belasan) agar antrian tidak menumpuk dan arus bisa lancar, ada juga yang karena keterbatasan lahan, rangkaian gerbang ini dibuat miring (tidak tegak lurus sumbu jalan, kalau susah ngebayanginnya ya sudah lah, lain kali lihat sendiri saja) sehingga tidak memakan banyak ruang yang melebar ke kanan kiri jalan. Ide yang cemerlang. Hal seperti ini belum aku dapat di kuliah.

Keluar dari tol, kami lanjut dengan bus yang lebih kecil lalu melaju di antara gedung-gedung tinggi di ibu kota negara Indonesia ini. Aku terkagum-kagum dengan gedung-gedung ini. Aku mencoba menghitung jumlah lantainya saja tidak bisa. Padahal di tubes beton ku kemarin kami hanya disuruh mendesain gedung 10 lantai dengan bentuk relatif lebih sederhana dengan banyak pendekatan dan penyederhanaan, itu pun hanya upper structure tanpa mempertimbangkan pondasi, yang seperti itu saja aku mengalami kesulitan. Sampai menggunakan program etabs laptopku juga berusaha keras. Aku belum terbayang bagaimana mendesain gedung-gedung yang aku lihat ini. Program apa yang digunakan insinyurnya. Belum terpikir bagaimana masalah pondasinya. Belum terpikir juga bagaimana pelaksanaan dan manajemen konstruksinya. Apalagi di antara gedung-gedung ini ada yang bentuknya tidak lazim, pasti perhitungannya lebih rumit lagi. Terimakasih kepada para insinyur sipil, berkat usaha mereka maka terwujud lah gedung-gedung yang bisa menampung banyak orang dan banyak urusan dengan lahan yang terbatas.

Kemudian aku juga kagum melihat bagaimana para insinyur membuat jalan layang, simpang susun, dan sistem lalu lintas yang melihatnya saja pusing karena rumitnya. Aku kagum bagaimana berton-ton mobil, motor, truk, bus, dll bisa melintas di atasnya dengan nyaman tanpa khawatir akan ambruk. Ketika bus kami melintas di bawah jalan layang, aku kagum melihat tiang penyangganya yang memiliki ukuran bermeter-meter panjangnya. Entah berapa ton beton yang digunakan untuk mengecornya dan berapa baja yang digunakan sebagai tulangannya. Tapi aku setidaknya bersyukur setelah mengikuti kuliah Analisis Struktur I dan juga Struktur Beton aku jadi sedikit-sedikit bisa menerka "oh ini kenapa penampangnya agak dibikin lebar di sini karena momen di sini besar sementara di sana agak kecil karena momen di sana kecil. Oh ini penampangnya tinggi karena untuk menahan gaya geser di sini. Oh ini bentuk penampangnya seperti ini mungkin karena dengan bentuk ini inersianya besar, dst". Jadi walaupun aku tidak tahu detailnya, merupakan keasyikan tersendiri bagiku dengan melihat-lihat infrastruktur ini. Seolah bangunan-bangunan ini bisa bercerita padaku mengenai dirinya mengapa dibuat seperti itu. Sementara itu, kawan-kawanku ada yang terlelap mungkin karena bosan (mungkin karena dia orang farmasi dan penerbangan, gak tertarik dengan bangunan).

Di sisi lain, agak miris juga, di balik kemegahan gedung-gedung dan jalan layang itu, sungai-sungai di Jakarta warnanya hitam dan baunya menyengat. Aku kira perlu adanya suatu usaha rekayasa sungai agar diterapkan di sini. Karena itu aku makin tertantang untuk nanti di tingkat akhir mengambil kelompok keahlian (KK) sumber daya air. Karena KK ini seringkali diabaikan di antara keilmuan teknik sipil. Sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil untuk mengurusi apa yang orang lain tidak mau untuk mengurusinya, ini semacam panggilan jiwaku!

Sebenarnya tujuan kami bukan Jakarta melainkan Bogor, di Jakarta kami hanya transit saja dan harus bertemu dengan beberapa orang. Kami bertolak dari tempat transit kami (Masjid Kebon Jeruk) menggunakan angkot menuju stasiun. Di Stasiun aku senang sekali karena melihat struktur portal tiga sendi di sana. Seperti yang kami pelajari di kuliah Statika waktu semester 3. Tentunya yang kami pelajari itu hanya bentuk idealisasinya saja tapi. Kemudian kami naik kereta listrik dari Jakarta menuju Bogor. Gerbong kereta ini bersih dan sepertinya lumayan baru. Ini kedua kalinya aku naik kereta listrik setelah liburan semester sebelumnya juga pernah. Tapi aku masih kagum bagaimana cemerlangnya ide untuk membentangkan kabel bertenaga listrik di atas rel sehingga bisa terus memberikan suplai listrik kepada kereta ini. Mirip seperti mainan mobil-mobilan yang saling beratabrakan di pasar malem yang punya tiang yang selalu bergesekan dengan jaring-jaring kawat di atasnya untuk memberi tenaga listrik. Dengan kereta lisrik ini, keretanya jadi tidak bising dan kukira ini lebih hemat energi dan ramah lingkungan daripada kereta biasa. Hanya saja infrastrukturnya pasti lebih mahal, karena harus menyediakan saluran listrik di atas rel sepanjang jalur kereta, lengkap dengan penyangga-penyangganya yang bentuknya mirip penyangga SUTET yang biasa kita lihat, bahkan di sawah desaku juga dilewati, hanya saja penyangga ini lebih pendek. Dengan melihat penyangga ini aku lagi-lagi teringat kuliah analisis struktur, karena penyangga ini tidak lain adalah rangka batang yang pasti juga sudah dihitung oleh insinyur struktur agar ekonomis. Aku ngitung rangka batang yang lebih sederhana saja kemarin harus lama, ini padahal lebih banyak derajat ketidaktentuannya. Pasti lebih rumit. Tapi tunggu saja nanti sepertinya aku akan mempelajari struktur rangka batang yang lebh kompleks di Analisis Struktur II.

Singkat cerita kami sampai di tujuan, di daerah Bogor kecamatan Situ Gedhe. Namanya demikian karena memang di sini ada Situ (semacam tampungan air mirip danau buatan). Aku sempat melihat Situ ini yang memang gedhe (besar). Situ ini berfungsi untuk memelihara ikan dan juga untuk irigasi. Sekali lagi, terimakasih kepada para insinyur sipil karena adanya Situ ini, para petani bisa menggunakan suplai airnya untuk mengairi sawahnya.

Di Bogor aku singgah di masjid kampong Jawa lalu pindah ke masjid baru dan sempat main ke Institut Pertanian Bogor. Mengenai apa saja yang kulakukan di sini sepertinya tidak cukup kalua diceritakan di sini, bahkan mungkin tidak bisa diceritakan karena terlalu rumit.

Singkat cerita kami selesai dari Bogor lalu kembali ke Jakarta. Setelah shubuh kami berangkat naik mobilnya seorang dosen di fakultasku (FTSL). Beliau nyusul di tengah-tengah acara liburan di Bogor. Kami berangkat setelah shubuh dan hanya membutuhkan waktu singkat untuk sampai di Jakarta menggunakan tol Bogor-Jakarta. Beberapa kali dosenku memacu mobilnya sampai 150 km/jam. Terimakasih kepada rekayasawan yang sudah membbuat jalan tol yang lumayan mulus ini. Sampai di Jakarta sempat macet karena ada kecelakaan, namun aku bersyukur bisa melihat bagaimana situasi kemacetan di Ibukota. Ternyata demand traffic lebih besar dari kapasitas jalan. Pasti ke depan dibutuhkan banyak peran dari rekayasawan transportasi. Singkat cerita setelah itu kami bertolak menuju Bandung lewat tol lagi. Sampai di Bandung aku tidak langsung ke kosan tapi sholat dulu di masjid Al-Amanah tercinta (masjid dekat kosan). Sebagaimana kebiasaan Rasulullah SAW apabila selesai melakukan suatu ekspedisi maka Beliau SAW ke masjid dulu lalu sholat dua rakaat dan orang-orang akan menemui Beliau SAW. Setelah sholat barulah aku pulang ke kosan. Di sini aku hanya siap-siap packing barang-barang. Baru kemudian besoknya aku pulang ke kampung halamanku di Klaten dengan kereta, naik dari stasiun Bandung turun di stasiun Klaten. Di perjalanan aku tidak banyak melihat karena sudah gelap dan aku fokus membaca buku yang sudah lama ingin aku baca tapi belum sempat karena kemarin-kemarin sibuk belajar dan mengerjakan tugas. Besoknya aku sudah sholat shubuh di masjid di Klaten dalam perjalanan pulang dari stasiun ke rumah.

Di Klaten aku ingin fokus membantu pekerjaan Ibu di rumah sehingga aku pulang tanpa membawa laptop dan gadget androidku supaya tidak disibukkan olehnya. Di Klaten aku juga ikut membantu kegiatan Setyaki yang diadakan adik-adikku anak-anak Klaten yang kuliah di ITB menyelenggarakan sosialisasi ke sekolah-sekolah SMA di Klaten dan juga try out. Setelah itu aku juga banyak bersilaturahmi kepada teman-teman lama (teman SD, SMP, dan SMA), tetangga, famili, dan kaum kerabat. Aku menghabiskan waktu dua minggu penuh di rumah. Lalu hari ini aku berangkat kembali ke Bandung. Berangkat dari Klaten pagi lalu sampai Bandung sore hari. Lagi-lagi di perjalanan aku merenungi betapa beruntungnya aku belajar ilmu teknik sipil. Betapa besar manfaat yang bisa diberikan kepada umat manusia dengan adanya ilmu ini. Tadi pagi aku berangkat dari rumah ke stasiun lewat jalan raya, nah jalan itu hasil rekayasa teknik sipil. Lalu sampai stasiun, itu pun hasil orang teknik sipil. Lalu naik kereta, lagi-lagi aku kagum bagaimana manusia membentangkan dua baja yang memiliki ukuran sama dan diatur dengan spasi seragam untuk beratus-ratus kilometer jaraknya, ditambah lagi ada bagian yang berkelok, menanjak, dan menurun dan itu semua diatur agar tidak melampaui batas kelandaian yang diizinkan. Pasti sudah diperhitungkan bagaimana pemilihan rute agar sesuai dengan kontur alam yang ada, aku jadi teringat mata kuliah Surveying dari prodi Geodesi di semester 4. Di kereta aku melihat pemandangan sawah, jalan, jembatan, terowongan, itu semua juga sedikit banyak ada andil teknik sipil di sana. Aku jadi semakin senang dengan ilmu yang aku pelajari.

Tapi taukah kawan, di atas semuanya, sebenarnya yang hebat itu bukan insinyur sipil nya, tapi Dia yang sudah menciptakan insinyur sipil itu sendiri. Memang orang teknik sipil yang membuat bendungan dan saluran irigasi, tapi kalau Allah tidak menurunkan hujan nanti bendungan itu hanya jadi sebongkah beton yang tidak ada artinya dan saluran irigasi juga tidak ada fungsinya. Allah juga yang telah mengatur sistem kehidupan manusia sehingga mereka harus bepergian kesana-kemari. Seandainya orang tidak lalu lalang maka siapa yang akan naik kereta, lalu apa fungsinya dibikin stasiun dan rel? Memang manusia bisa membuat jalan tol dan gedung-gedung tinggi, tapi itu semua berkat Allah yang telah membuat gunung-gunung sebagai pasak Bumi sehingga ia stabil. Seandainya Dia berkehendak, bisa saja Bumi bergoncang maka gedung-gedung itu akan roboh seperti rumah-rumahan tanah yang kita buat dulu waktu kita masih kecil dan jalan tol itu pasti akan bergelombang dan aspalnya pecah-pecah sehingga mobil tidak akan bisa melaju dengan kencang. Bendungan yang menurut kita memberi manfaat besar untuk pertanian dan pembangkir listrik pun akan menjadi malapetaka jika Allah mengguncang Bumi sehingga dam jebol dan airnya akan menerjang rumah penduduk. Harus kita ketahui juga bahwa beton itu asalnya juga hanya dari kerikil, semen, air, dan bahan aditif yang itu semua asalnya dari tanah. Semua yang asalnya dari tanah suatu saat nanti pasti akan kembali ke tanah. Bahkan gedung-gedung kaca yang elok itu pun juga dari tanah, suatu saat nanti akan rata dengan tanah. Tidak hanya itu, tubuh kita ini pun asalnya dari tanah. Nanti juga akan masuk ke dalam tanah dan akan dimintai pertanggungjawaban. Jadi sebenarnya kita sama sekali tidak bisa menyombongkan diri. Bukan civil engineer yang membuat civilization itu, tapi Allah lah yang menciptakannya, menyempurnakannya, lalu mengurusinya setiap saat. Civil engineer membuat infrastruktur, bendungan misalnya, lalu memonitornya dengan komputer, dievaluasi debit air yang masuk, debit air yang keluar, sisa tampungan, gaya yang menekan ke dinding dan sebagainya.. tapi kecepatan refresh nya pasti butuh waktu. Itu pun pasti ada error nya dan ada bagian yang tidak terdeteksi alat ukur. Tapi Allah menciptakan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi ini mampu untuk mengawasi setiap bagiannya dengan sangat teliti, setiap waktu, menyeluruh, dan tanpa error sama sekali. Tidaklah setiap tetes air hujan yang jatuh ke Bumi maupun setiap daun yang gugur di seluruh dunia ini melainkan Allah mengetahuinya. Bahkan Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam hati. Perumpamaan seorang civil engineer (atau engineer bidang apapun) yang berkata “Ini semua bisa berjalan berkat aku” adalah seperti cicak yang menempel di langit-langit rumah lalu berkata, ”Atap ini kalau tidak ada aku pasti akan rubuh”.

Kesimpulannya, ternyata kita ini hanyalah makhluk yang tidak bisa memberikan manfaat ataupun mudharat. Hanya Allah yang mampu memberikan manfaat dan mudharat. Semua makhluk bergantung kepada Allah, tetapi Allah tidak bergantung kepada makhluk sedikit pun.
Lanjut cerita, jadi tadi aku sampai di stasiun Bandung sekitar jam 4, lalu ngangkot ke Cisitu (daerah kosanku), di jalan lumayan macet. Lalu seperti biasa aku tidak langsung ke kosan tapi ke masjid Al-Amanah dulu untuk sholat Dzuhur sekaligus Asar. Lalu akhirnya di sinilah aku, kembali di depan meja belajar dan laptopku. Di sisiku aku nyalakan lagi gadgetku dan langsung bergetar lama banget gak selesai-selesai karena menerima RIBUAN notifikasi. Mungkin satu jam tidak cukup untuk meladeni itu semua. Tak terasa besok aku sudah akan kuliah lagi. Kembali harus mandi pagi-pagi lagi. Kembali harus melewati gang-gang sempit di Cisitu lagi. Dan kembali bergabung dengan kehidupan kota Bandung dengan segala macam ragam aktivitasnya lagi. Tapi Alhamdulillah aku senang bisa bertemu kawan-kawan seperjuanganku di sini, bisa kembali melihat ramah senyum penduduk di sini, dan bisa belajar di kampus gajah lagi. Doa orangtua dan teman-teman yang berjarak ratusan kilometer dariku sekarang turut menyertai perjuanganku. Aku harus berusaha melakukan yang terbaik. Semoga semester ini lebih baik dari semester-semester sebelumnya. Semoga Allah memudahkan urusan-urusanku dan menerima amalku, aamiin.

Ini hanyalah cerita sekilas worldview seorang muslim yang kebetulan belajar civil engineering. Pasti teman-teman memiliki worldview yang tidak kalah menariknya. Jadi telinga ini akan selalu siap mendengar ceritamu, dan mata ini akan siap membaca kisahmu. Jadi aku tunggu kisah kalian teman-teman. Semoga Allah meridhoi kita semua, aamiin