Jangan
Pernah Berkata,
“Jangan Pernah Berubah”
Oleh : Penulismisterius
Kriiing
kriiing.. suara bel tanda masuk kelas berbunyi. Aku dan teman-teman segera
bergegas masuk kelas setelah sebelelumnya ngobrol
di depan kelas yang terletak tak jauh dari ruang guru. Terlihat dari kelasku
guru-guru berjalan menuju ke kelas-kelas, bertentangkan tas, bersiap untuk
mencetak generasi penerus bangsa ini. Ya, sudah sebulan aku bersekolah di SMA
yang katanya sekolah paling favorit di kotaku. Aku sedang beradaptasi dengan
lingkungan yang baru. Katanya sih, disiplin,
penuh tantangan, harus serius. Terlihat menyeramkan memang.Tapi aku ingat, saat
Masa Orientasi Siswa, aku melihat ada seorang siswa yang melanggar peraturan.
Dan apa tindakan sekolah? Ternyata aman saja. Bagaimana? Ini yang dimaksud
dengan disiplin dan tegas?
Di
kelas, aku sebangku dengan temanku bernama Fatih. Dia seorang manusia yang
multi talenta. Dalam hal akademis, olah raga, musik, dia semuanya bagus. Dan
lebih dari teman-temannya. Wajahnya pun ganteng.
Memang aku baru mengenalnya sejak aku dijadikan satu kelas dengannya,
tepatnya 1 bulan yang lalu. Tetapi aku sudah akrab dengannya.Selalu bersama
dalam suka maupun duka. Mulai dari mengerjakan PR, ngeband, menonton konser musik, pergi ke mall. aku selalu bersama dengannya. Dia selalu menghiburku jika aku
sedang ada masalah, membantuku saat kesulitan. Tak ada rahasia diantara aku dan
dia. Seiring berjalannya waktu, persahabatan kami semakin dekat. Dan serasa
dunia hanya milik kami. Satu hal yang membuatku kagum dengannya, dia orang yang
sangat mudah bersosialisasi, mudah bergaul dengan orang lain. Wajar saja,
hampir tak ada yang tak suka dengannya.
“Idaman
mertua bener dia. Hmmm.. Caranya gimana ya biar dia suka sama aku?”
”Wah,
dia itu udah pinter apa-apa, genteng, gaul. Kapan ya aku jadi pacarnya?”
“Kenapa
sih si Fatih itu belum punya pacar?
Padahal dia kan udah kayak artis,
bahkan lebih menurutku.”
Dan
masih banyak lagi lontaran teman-teman sekelasku tentang Fatih. Dan aku semakin
bangga punya sahabat seperti dia.
Kehabisan kata untuk menggambarkan
sahabatku ini. Disamping itu semua dia juga orang yang religius yang bukan
fundamentalis. Shalat tak pernah ia tinggalkan. Namun dia tetap pakai celana
jeans, sering ikut konser musik. Ya, dalam pandanganku dia nggak ekstrim.
Pada suatu hari saat aku bermain
dengannya. Saat itu aku dan dia berencana melihat film di bioskop. Kami
mendapat tiket. Dan film akan dimainkan jam 18.00 sampai 20.00.
“eh gimana nih? Film main jam 6 sampai jam 8, berarti kita nggak shalat maghrib dong?” tanyaku bingung.
“Allah itu Maha Penyayang dan Maha
Pengampun. Tenang saja, nanti kita gabung aja sama Shalat Isya, jangan fanatik
lah” jawab Fatih dengan bijak.
“Ya okelah” Aku lega mendengar
jawaban Fatih.
Kehidupanku seolah sempurna.
Dikaruniai sahabat seperti dia.
Tiba-tiba pada
pertengahan semester 1, Ponselku berbunyi. Setelah aku melihatnya, ternyata SMS
dari Fatih. Isinya;
“Bro, aku mau pergi ke rumah
nenek di Jawa Timur. Kayaknya sih
sampai tiga minggu. Aku pamit ya. Jaga diri baik-baik. Ingat komitmen kita.
Salam, Fatih.”
“Hmmm.. ditinggal tiga minggu.
Lama juga ya. Terus siapa yang menemaniku pergi ke konser besok? Siapa yang
membantuku membuat PR Matematika? Siapa yang ....” Gerutuku dalam hati.
“Iya sahabat. Jaga dirimu baik di
sana. Dan ingat, Jangan pernah berubah” balasku lewat SMS.
Selama tiga migggu tak ada kabar
dari Fatih, dia tak pernah membalas jika di SMS. Mungkin Hp-nya mati, dugaku. Hari-hariku
berjalan dengan sangat biasa, tak ada yang istimewa. Belajar, mengerjakan PR,
tidur. Ya, itu-itu saja. Tak ada lagi yang menemaniku ke konser musik, nonton
film di bioskop. Di kelas, aku duduk sendiri di bangkuku. Dunia terasa hampa.
Tiga minggu kemudian aku merasa
sangat bahagia. Fatih yang telah meninggalkanku selama itu akan kembali
menemaniku lagi. Malam hari sebelum Fatih masuk sekolah aku SMS dia.
“Fatih. Bagaimana kabarmu? Besok
kamu sudah masuk kan? Bagaimana kalau besok pulang sekolah kita pergi ke mall?”
“Alhamdulillah. Kabarku sangat luar
biasa. Maaf ya, aku besok ada acara di masjid” balasnya singkat.
Batinku dalam hati,
“Lhoh, kok dia jadi seperti itu
ya? Biasanya dia mengorbankan acaranya untuk menemaniku. Tapi sekarang kenapa
dia nggak mau? Ada acara ke masjid lagi. Jangan-jangan dia ...”
Saat itu
aku mulai curiga. Dan keesokan harinya, aku bertemu dengannya.
Hari-hari
ku jalani dengannya lagi. Tetapi, aku merasa sangat aneh. Entah mengapa Fatih
belakangan ini berubah drastis. Aku merasa kehilangannya. Dan Aku sangat sedih.
Biasanya
dia bersamaku pergi ke konser musik. Tetapi sekarang, dia nggak mau.
“Ada apa sih?” aku sangat sedih. Aku mulai mengamati perubahan-perubahan
pada dirinya.
Saat
pulang sekolah, tanyaku, “Fatih. Mau kemana?”
“Oh. Aku
mau ke masjid dulu. Ada kajian” jawab Fatih sambil mendengarkan suara AlQur’an
yang berbunyi dari ponselnya”
“Hah?
Kajian? Makanan apa sih itu? Kamu kok tiba-tiba mendengarkan suara kayak gitu sih?Kesambet dari mana? Biasanya kamu mendengarkan lagu macam Scorpion, Linkin Park”
“Eh sudah
Adzan nih. Ayo Shalat dulu.” Jawab
Fatih seolah tak menggubris pertanyaanku.
“Aku mau
pulang aja kok” aku menolak ajakannya.
Setiap
hari Fatih membunyikan suara Al-Qur’an dari ponselnya. Sepulang sekolah, dia
tidak pernah menemaniku lagi. Dia langsung ke Masjid. Persahabatan kami mulai
renggang. Kami sudah tidak sebangku lagi. Bukan Fatih yang meminta pindah.
Tetapi aku yang belum bisa menerima perubahannya yang dalam pandanganku sangat
aneh.
Aku
benar-benar heran, tak habis pikir. Mengapa selera musik Fatih jadi begitu, ke
mana lagu-lagu Scorpion, Linkin Park yang setiap hari kami
nyanyikan bersama?
Dengan
penasaran aku bertanya pada Fatih, “Fat, kenapa sih selera musik Fatih jadi
begitu, ke mana lagu-lagu Scorpion, Linkin Park yang setiap hari kita
nyanyikan bersama? “
“Mendengarkan
lagu-lagu Scorpion, Linkin Park itu belum tentu
mendatangkan manfaat. Tetapi kalau kita mendengarkan Al-Qur’an itu insyaAllah
bermanfaat. Begitu sahabat”
“kok jadi
ekstrim gitu sih kamu? Hmm..”
Di sekolah aku kembali sebangku
dengannya. Karena aku ingin tahu kenapa Fatih berubah drastis. Semakin hari dia
tambah alim aja, rajin ke masjid berjamaah, sering mendatangi kajian islam, di
sekolah dia selalu membawa buku-buku islam. Kelakuannya pun berubah. Dia
semakin jarang bercanda dengan perempuan. Bicaranya semakin santun. Dia mulai
sering mengajakku berbicara tentang agama, tentang Allah, Rasulullah, dan
Islam. Dia menceritakan tentang kekejaman dunia barat terhadap kaum muslimin.
Dia juga sering menceramahiku agama dan menjelaskan isi buku Islam yang baru
saja dibacanya. Tak lupa juga, ia juga sering bersedekah. Dia kadang mengajakku
untuk mengunjungi panti asuhan, kemudian dia menginfakkan uangnya.
“Bro, ayo dong Shalat berjamaah
di Masjid. Biar tambah kelihatan macho
gitu. Masak muslim shalat di rumah?
Telat lagi. Kasihan tuh, pahalanya cuma 1. Kalau di masjid kan bisa sampai 27
kali pahalanya.”
“Ah. Padahal dulu dia mengajakku
buat telat Shalat. Eh kok sekarang dia berubah 180 derajat begini.”
Lain lagi, penampilan Fatih jadi
aneh. Temanku yang lainnya menegur Fatih.
“Fat, penampilanmu kok jadi kayak
gini sih?”
“Emang gimana?”
“Ya nggak semodis dulu. Biasanya
kamu selalu ribut dengan penampilanmu”
“Hmm. Aku suka yang begini. Rapi
dan sederhana. Terkesan lebih rendah hati. Juga tidak menyombongkan diri.” Memang
penampilannya berubah. Di luar sekolah, pakaiannya pun kelihatan lebih jadul.
Jadi mirip kayak tukang kebun sekolah.
“Untung aja Fatih masih lebih
ganteng”
Wah ini lebih ekstrim lagi, dia
nggak mau berjabat tangan sama perempuan di kelasku. Apa sih maunya dia?
“Fat, kok kamu gitu sih? Nggak
menghargai perpempuan itu namanya.”
“Justru karena aku menghargai
mereka, makanya aku begitu. Dalam Islam, perempuan itu ibarat ratu yang sangat
dihormati dan suci. Jadi nggak sembarang orang bisa bersalaman dengannya. Hanya
Mahramnya saja yang boleh. Salah satu cara menghargai wanita ya ini. Jangan
sembarangan menyentuh wanita!” Terang Fatih dengan nada santun tapi tegas.
“Tapi kok guru agama kita mau
salaman sama guru perempuan?”
“Bukankah Nabi Muhammad itu suri
tauladan yang terbaik?”
Dalam
pandanganku dia terlalu fanatik. Aku khawatir kalau Fatih terbawa oleh orang
yang sok agamis tapi ngawur. Namun aku tak berani menduga demikian.Fatih itu
cerdas, dia berpikir rasional. Dan aku yakin mata hatinya jernih.Aku ingat
kemarin aku diajak Fatih mengikuti kajain Islam di masjid sekolah. Dan aku
mulai mengerti mengapa Fatih berubah demikian.
“Hmm.
Dia itu nggak error. Dia cuma ingin
mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum mengerti dan
sering salah paham. Coba deh kamu mulai ngaji, banyak baca buku Islam!” tegas
salah seorang temanku yang akhir-akhir ini mengikuti jejak Fatih. Berubah
menjadi manusia aneh.
Setelah
beberapa hari aku mulai membaca buku-buku Islam yang ku dapat dari temanku. Aku
mulai mengerti, paham akan hakikat Islam.
Saat
liburan tiba aku mengunjungi rumah Fatih
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam,
sahabat” Fatih menyambut salamku dengan indah.
Aku
berbincang lama dengan Fatih. Dengan sabar ia menjelaskan banyak hal kepadaku.
Tentang Allah, Rasulullah, tentang ajaran Islam yang banyak diabaikan. Banyak
orang mengatakan ekstrimis atau fundamentalis. tapi penjelasan demi penjelasan
yang disampaikan sahabatku ini cukup memahamkanku tentang hakikat Islam.
Persahabatan kami semakin erat. Inilah hidayah dari Allah kepadaku. Aku
berjanji untuk menjaga hidayah ini. Aku benar-benar berubah!
“Fatih, aku mencintaimu karena
Allah”. Sungguh persahabatan yang dilandasi cinta karena Allah adalah
persahabatan terindah di dunia dan akhirat.