Kamis, 04 Oktober 2012

Amazon Phytagoras


Waktu itu aku masih duduk di kelas XG. Aku baru bersekolah di SMA selama kira-kira 3 bulan. Jadi solidaritas dengan teman masih belum terlalu solid. Kakak kelasku saat itu mengadakan turnamen sepakbola yang bernama AMAZON CUP. Pesertanya adalah tiap-tiap kelas di sekolahku.

Sore itu adalah saat technical meeting. Aku terkejut ketika mendapati bahwa kelasku, XG, berada di grup yang isinya kelas XII semua kecuali kelasku. Saat itu dengan begitu bersemangat aku katakan pada teman-temanku yang laki-laki, "Sante wae cah, ora popo lawane cah2 kelas 12! Ojo nyerah sek, yen awakedhewe tenanan mesthi isoh menang!"

Hingga datang hari pertandingan pertama kami. Kalau aku tidak salah ingat, lawannya adalah XII IPA 5. Aku katakan pada teman-temanku, "Ojo lali mengko tanding lho cah! Thokno kabeh opo isohmu!"

Karena pertandingan dimulai sekitar pukul 15 lebih sementara aku pulang sekolah pukul 14 kurang maka aku putuskan pulang dulu.

Setelah persiapan selesai, aku siap berangkat lagi. Tapi ternyata saat itu ada hujan deras disertai angin kencang serta petir yang menyambar-nyambar. Tapi hambatan yang terbesar sebenarnya adalah suara nyaring dari Ibuku yang memekakkan telinga, berusaha melarangku pergi bertanding.

Tapi itu bukan halangan bagiku. Aku, yang saat itu masih berjiwa muda, tidak akan gentar menghadapi rintangan apapun. Meski dunia kiamat pun pasti aku akan tetap pergi ke stadion itu untuk menyelesaikan urusanku.

Sepeda motorku kupacu, meski guntur menggelegar, angin berhembus kencang, deras air hujan yang menusuk tubuhku kuanggap seperti pijat terapi saja.

Hingga aku sampai di depan stadion, saat itu baru ada satu temanku di sana. Padahal menurut jadwal, pertandingan harus segera dimulai.

Kakak panitia sudah memberi kode agar tim kami segera bersiap. Tapi kami masih kurang orang. Baru lima. Padahal untuk bertanding harus ada sekurang-kurangnya 7.

Dalam hati aku berkata, "Kalaupun aku harus bertanding seorang diri melawan 11 orang, aku tidak akan takut!"

Aku kemudian membujuk temanku, Faisal. Tadinya Faisal ingin tidak ikut bertanding karena nanti ia akan dimarahi orangtuanya. Tapi aku membujuk dan setengah memaksanya, "Sal, ayo gek melu. Ojo jirih sal. Koe ki lanang po wadon. Yen ra gelem melu wes koe ganti sayakan wae!"

Akhirnya dengan berat hati Faisal mau ikut bertanding. Tapi kami masih kekurangan 1 orang.

Aku berusaha menghubungi temanku melalui handphone. "Ayo gek nyango stadion, iki garek kurang siji engkas". Tapi ternyata semua usahaku tidak berhasil. Tidak ada lagi temanku yang mau ikut bertanding. Karena kebanyakan temanku adalah aktivis di organisasi, mereka lebih memberatkan pada organisasi daripada bertanding bersama-sama teman sekelas.

Akhirnya tim kami dianggap kalah 3-0 karena tidak cukup orang. Aku sangat kecewa saat itu. Teman-temanku bertindak seperti pengecut. Aku merasa malu berteman dengan mereka yang saat itu tidak ikut datang ke stadion. Apa susahnya datang bermain, padahal hanya pasang badan. Kalah atau menang itu urusan belakangan, yang penting adalah sikap ksatria untuk berani masuk ke arena menghadapi apa yang seharusnya dihadapi. Bukannya lari dari pertarungan. Kami sudah kalah bahkan sebelum bertanding. Ini benar-benar tidak sesuai dengan jalan Bushido yang saat itu kuanut. Untung saat itu aku masih belum terlalu menjiwainya, kalau aku benar-benar menjiwainya, mungkin aku sudah melakukan harakiri.

Lalu aku mohon maaf pada Faisal karena telah berkata kasar padanya. Karena meskipun agak takut, Faisal sudah bertindak layaknya seorang ksatria sejati yang tidak lari dari musuh.

Sepulang dari stadion aku mandi, lalu online di Facebook. Aku membuat status di sana, "wahai para penghuni XG, dimanakah kehormatan kalian?" Ternyata tidak ada yang berani berkomentar.

Besuknya aku marah-marah di kelas. "Piye he cah wingi kae? Kok podo jirih temen ki piye? Mbok ngono kui yo teko, tanding, menang opo kalah kui urusan keri!"

Mereka lalu meminta maaf. Dengan agak kesal, aku memaklumi mereka. "okelah sing nggekingi wes men, nanging sesuk meneh ojo dibaleni lho!"

Tibalah hari saat pertandingan kedua kami. Saat itu jadwal pertandingannya sepulang sekolah lalu istirahat sebentar kemudian langsung bertanding. Jadi jumlah kami awalnya 10 atau 11 orang. Saat itu lawannya kalau aku tidak salah ingat adalah XII IPA 6.

Awalnya kami bisa mengimbangi permainan lawan. Kami bahkan bisa menembus pertahanan lawan sampai hampir membuat gol. Tapi ternyata tendangan melenceng. Aku yang melihat dari tengah lapangan juga ikut merasa kecewa. Pertandingan berlanjut.

Sampai datang beberapa teman kelas lain memanggil beberapa temanku yang sedang bertanding. Mereka harus mengikuti latihan dari organisasi mereka. Satu persatu temanku pergi. Hingga akhirnya kami tinggal 7 orang. Ini benar-benar pertandingan yang sulit.

Lama-kelamaan kami kehabisan tenaga. Stamina kami tidak terlalu baik. Apalagi kami yang hanya tujuh orang harus mengimbangi mereka yang 11 orang. Ditambah lagi tubuh kami lebih kecil. Sudah kalah jumlah, kalah badan, kalah stamina, juga kalah skill. Ini benar-benar pertandingan yang sulit dan memayahkan.

Pertandingan akhirnya berakhir dengan kemenangan lawan telak 4-0. Aku kecewa lagi. Ternyata hasilnya justru lebih mengenaskan daripada tidak bertanding sama sekali. Tapi tidak masalah. Kali ini yang penting kami sudah bertanding. Setidaknya kami bisa kalah dengan cukup terhormat. Kukatakan pada teman-temanku "Rapopo cah, dino iki mainmu wes apik. Aku njuk ngapuro mainku ora apik banget." Walau kucoba menyemangati mereka, ternyata wajah mereka tetap saja tertunduk lesu. Mungkin mereka mengalami depresi yang mendalam.

Akhirnya hari pertandingan ketiga kami tiba. Meskipun hari ini kami menang 1000-0 pun kami tidak akan lolos ke babak berikutnya. Muncul isu-isu untuk tidak usah bertanding saja. Tapi aku dengan tegas membantahnya. Apakah mereka akan mengulangi perbuatan mereka, semenatar mereka sudah berjanji untuk tidak melakukannya. Tentu itu takkan kubiarkan terjadi.

Jadi, hari itu kami bertanding dengan jiwa yang begitu bebas. Kami bertanding tanpa beban. Saat itu terkumpul kalau tidak salah 9 orang. Melawan kelas kalau tidak salah ingat XII IPS 1 yang lagi-lagi berpostur besar-besar, dan 11 orang penuh.

Saat itu terik matahari begitu menyangat, kami sangat kelelahan setelah seharian mendengarkan pelajaran bapak-ibu guru. Aku melihat musuh, tampak mereka seperti pasukan yang begitu kuat, berbaris dengan rapi, menunggangi kuda perang yang gagah, dan membawa persenjataan lengkap. Sedangkan kami, kami seperti segerombolan pasukan infantri sukarela, tanpa baju besi, tanpa pedang hanya sabit dan alat-alat dapur, yang sudah menempuh perjalanan jauh tanpa mendapati mata air sehingga kami hampir mati kehausan. Yah, kira-kira seperti itulah keadaan saat itu.

Meskipun demikian, kami tetap bersemangat, kami tidak menyerah, kami teriakkan sekeras-kerasnya, "MERDEKA!!"

Lalu, apakah Anda tau apa yang terjadi? Apa Anda berpikir bahwa kami bisa melakukan keajaiban seperti yang terjadi pada babak final antara Liverpool dengan AC Milan yang saat itu di akhir babap pertama Ac Milan sudah menang 3-0, kemudian pelatih Liverpool mengatakan pada pemainnya di waktu istirahat "bermainlah sesuka kalian!" dan akhirnya Liverpool bisa menyeimbangkan kedudukan 3-3, lalu mereka justru menang di babak penalty??

Tidak, dan Ya!

Tidak, kami tidak menang. Kami kalah 5-0. Seperti yang sudah aku ramalkan bahwa hasil dari pertandingan ini akan mengikuti rumus Phytagoras yakni r kuadrat sama dengan x kuadrat ditambah y kuadrat. Kami sudah kalah 3-0 dan 4-0. 3 kuadrat ditambah 4 kuadrat adalag 25 yang akar kuadratnya adalah 5. Dan ramalanku benar.

Ya, kami memang melakukan suatu keajaiban. Bagiku, kami bisa bertanding itu sudah suatu keajaiban. Kelas kami, XG, adalah kelasnya orang-orang yang penuh kreativitas, mereka adalah orang-orang yang super sibuk. Mereka memiliki tumpukan tugas yang begitu tingginya, sehingga meluangkan waktu untuk bermain adalah suatu yang sangat jarang terjadi. Aku sangat bersyukur bisa bermain bersama teman-temanku. Ambisiku untuk menang di awal-awal turnamen mungkin terlalu muluk-muluk. Sebelumnya aku adalah tipe orang yang perfeksionis yang ingin segala sesuatu berjalan sempurna. Tapi berhadapan dengan situasi selam turnamen ini, kalian telah berhasil membuka mataku bahwa keberhasilan (kemenangan) bukanlah satu-satunya hal yang terpenting. Aku kira kebersamaan, keseimbangan, keharmonisan, dan persahabatan itu jauh lebih penting.

Aku minta maaf karena telah berkata kasar pada kalian teman. Terimakasih kalian telah memberikan yang terbaik dari kalian. Aku sangat menghargai itu.